Sebuah ancaman kah, atau sekedar pemenuhan kebutuhan?

Baca koran kompas kemarin... Jakarta, Kompas - Sekitar 7 juta hektar hutan dan lahan gambut di area penggunaan lain masih berhutan atau menyimpan kekayaan biodiversitas tinggi. Namun, kawasan itu sewaktu-waktu bisa berubah atas dalih kebutuhan manusia akan lahan. ”Secara legal boleh ditebang untuk apa saja,” kata Yuyu Rahayu, Direktur Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya Hutan, Kementerian Kehutanan, Rabu (6/2), di Jakarta. Ia ditemui seusai berbicara pada lokakarya ”Penanganan Akar Masalah Deforestasi dan Degradasi Hutan dalam Implementasi REDD+”. Pembicara lain adalah Harry Alexander (Direktur Policy Law Institute for Good Governance) dan Wahjudi Wardojo (penasihat senior The Nature Conservancy). Menurut Yuyu, status sebuah lahan sebagai area penggunaan lain (APL) menjadi wewenang mutlak pemerintah daerah. APL merupakan area di luar kawasan hutan yang digunakan sebagai pembangunan di luar bidang kehutanan. Di lapangan, lanjut Yuyu, ada APL dengan tutupan hutan bagus. Ia menunjukkan tabel diagram batang APL-APL yang masih berhutan dengan luasan relatif besar di Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Barat, dan Papua. Data Kementerian Kehutanan 2011, total hutan dan gambut APL seluas 9,7 juta hektar. Itu terdiri atas gambut nonhutan (2,6 juta ha), gambut berhutan (666,5 ribu ha), dan nongambut berhutan (6,47 juta ha). Harry Alexander menjelaskan, adanya APL yang masih berhutan terkait sejarah penunjukan kawasan hutan secara sentralistik yang tak akurat. ”Kementerian Kehutanan mengakui bahwa fauna liar dilindungi, seperti gajah dan harimau, hidup di luar kawasan hutan. Artinya, penunjukan kawasan tak didukung dasar ekologi yang kuat,” kata dia. Menurut dia, APL bernilai biodiversitas tinggi dan tak terkelola baik, sebaiknya ditukar dengan lahan lain yang terdegradasi. Salah satu tujuannya menjaga kelestarian biodiversitas genetik yang bakal membawa manfaat besar bagi bangsa Indonesia melalui Protokol Nagoya. Wahjudi memberi perspektif dari kandungan karbon. Ia mengatakan, APL memiliki stok karbon cukup tinggi. Mantan Sekretaris Jenderal Kemhut itu menggambarkan, jika 8,6 juta ha APL dikonversi menjadi hutan tanaman industri atau kebun sawit, bakal melepaskan 860 juta ton karbon, dengan asumsi asumsi tiap hektar melepas 100 ton karbon. ”Ini setara 3 gigaton CO 2 atau tiga kali lipat penurunan gas rumah kaca dari sektor kehutanan/gambut,” kata dia. Dana APBN Menanggapi usulan tukar-menukar APL dengan lahan terdegradasi, Sekretaris Jenderal Kemhut Hadi Daryanto mengungkapkan kemungkinan penggunaan dana anggaran pendapatan belanja negara/daerah untuk membeli lahan APL yang bernilai ekologi tinggi. ”Namun, jangan lupakan pertimbangan sosial ekonomi,” kata dia. Menurut dia, pembelian lahan masyarakat untuk kawasan hutan ini bisa diterapkan dalam sebuah peraturan pemerintah (PP) dengan mengacu kepada Undang-Undang (UU) Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. ”Ganti rugi kepada masyarakat saya kira tidak mahal, karena harga tanah di kawasan hutan relatif tak terlalu mahal,” kata dia. Mekanismenya mirip dengan tukar-menukar kawasan hutan. Saat pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan, penanggung jawab usaha diwajibkan mencari lahan pengganti agar luas kawasan hutan tidak berubah. Mengenai besaran luas dan dana yang dibutuhkan, Hadi belum mengetahuinya. Yang jelas, ia memastikan pemerintah daerah ikut bertanggung jawab soal pembelian lahan kawasan hutan tersebut. Namun, sebelum direalisasikan, masih perlu dilihat penetapan kawasan hutan itu sendiri. Caranya, dengan melihat pada pengajuan Rancangan Perda Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi yang memiliki kawasan hutan. (ICH) Berita ini jadi bahan diskusi yang sangat panas dikantor hari ini, hemmm...kalau pendapat teman ku sih..ini bisa jadi sebuah ancaman ekologis, dasarnya dari kalimat yang diucapkan pejabat dari kementrian kehutanan "kawasan itu sewaktu-waktu bisa berubah atas dalih kebutuhan manusia akan lahan" hemmmmm....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bos Vs Leader

Ohara Hadaka Matsuri / Festival Pria Telanjang

Principles of Agroecology and sustainability